Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Minggu, 30 Agustus 2009

Bersihlah Agar Bisa Peduli


Akhi dan ukhti fillah…
Di penghujung tahun 12 H, Abu Bakar mengirim pasukan untuk membebaskan negeri-negeri Syam dari cengkeraman Romawi. Amr bin Ash r.a. dipilih sebagai panglimanya. Pada perang tersebut, jumlah pasukan Islam 40.000 orang, sedangkan jumlah pasukan Romawi 200.000 orang. Skala perbandingannya adalah satu banding lima. Kesudahannya, kaum Muslimin berhasil memenangkan perang tersebut.

Jumlah tidak seimbang, tetapi pasukan yang sedikit itu bisa mengalahkan pasukan yang lima kali lipat lebih banyak. Apakah penyebabnya?


Salah seorang komandan Romawi mengutus seorang nasrani Arab untuk menyelidiki kondisi para shahabat dari dalam. Sepulangnya dari menjalankan tugas, utusan itu melaporkan, “Kami mendapati suatu kaum sebagai pendeta di malam hari dan penunggang kuda di siang hari. Demi Tuhan, kalau seandainya anak raja mereka curi, pasti mereka akan memotong tangannya. Atau kalau seandainya ia berzina, pasti mereka merajamnya.” Qaeqalan berkomentar, “Demi Tuhan, kalau Anda benar, perut bumi tentu lebih baik dari pada permukannya.”

Akhi dan ukhti fillah…

Terdapat beberapa kaidah yang dapat diambil dari ungkapan di atas. Diantarannya adalah kaidah keseimbangan. Tentu kita tidak mengangap bahwa kemenangan kaum Muslimin hanya ditentukan oleh khusuknya mereka dalam shalat Malam dan ibadah lainnya. Juga tidak beranggapan bahwa kemenangan mereka diraih hanya berkat keahlian mereka di medan tempur, atau kehebatan mereka mengendarai kuda dan memainkan pedang, apalagi hanya dengan jumlag pasukan yang lebih sedikit dari pada lawan.

Kita yakin terhadap keimanan para shahabat, yang tidak bisa dibandingkan dengan keimanan manusia di abad manapun. Terhadap ibadah mereka, kita juga tidak ragu. Kisah-kisah menakjubkan dari kualitas ibadah mereka sering kita baca. Kekhusukannya, totalitasnya, kuantitasnya, dan ihsannya. Mereka adalah model manusia yang menjadikan model manusia yang menjadikan hidup dan mati mereka bernilai ibadah dan ketaatan kepada Allah. Itu semua menjadikan mereka layak dijuluki sebagai para rahib . Adalah Ali bin Abi Thalib r.a., ketika waktu shalat tiba, ia begitu terguncang dan wajahnya pucat. Ada yang bertanya, “Ada apa dengan dirimu, wahai Amirulmukminin?” Ia menjawab, “karena waktu amanah telah datang. Amanah yang disampaikan kepada langit, bumi, dan gunung, lalu mereka tidak sanggup memikulnya dan aku sanggup.”

Akan tetapi, keahlian mereka dalam pertempuran dan menunggang kuda tentu tidak kita nafikan. Tabiat kehidupan gurun yang panas dan keras menempa mereka menjadi manusia-manusia yang memiliki fisik yang tangguh. Belum lagi dengan tradisi perang antarsuku di masa jahiliyah. Maka, keahlian perang merupakan tuntutan hidup jika seseorang ingin mempertahankan hidupnya dan suatu suku ingin mengukuhkan eksistensinya.

Kemudian Islam datang mendesain kepribadian mereka secara seimbang antara ‘otot’ dan ‘hati’ sehingga menjadi manusia sempurna. Kekuatan otot yang tak diimbangi dengan hati yang bersih akan menjadikan seseorang berkepribadian kasar. Ciri-ciri kebinatangan lebih mendominasi ketimbang kemanusiaannya. Demikian pula sebaliknya, kekuatan ruhiyah tanpa didukung kemantapan fisik merupakan ketidakseimbangan.

Akhi dan ukhti fillah…
Pelajaran lain yang bisa kita ambil adalah, bahwa kebersihan hati dan kekuatan jiwa merupakan inti serta modal bagi lahirnya amal. Jika hati bersih, seluruh organ tubuh menjadi bersih dan lahirlah aktivitas amal yang bersih.
أَلاَ وَإِنَّ فِى الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ ، وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ . أَلاَ وَهِىَ الْقَلْبُ
“Ketahuilah bahwa di dalam jasad ada segumpal daging, jika ia baik, maka baik pula seluruh jasad; dan jika rusak, rusak pula seluruh jasad. Ketahuilah bahwa ia adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Bisa jadi, hati yang bersih dan jiwa yang suci menjadi jaminan bagi tergeraknya fisik untuk melakukan aksi amal nyata. Karena iman selain sebagai dasar beramal, ia juga sebagai energi yang melahirkan amal. Makin besar energi yang tersedia, makin banyak amal yang bisa dilakukan. Sebaliknya, jika energi iman kecil, maka dorongan amal pun menjadi kecil dan daya tahan beramal juga menjadi kecil. Seorang mukmin hendaknya banyak melakukan aktifitas keimanan dan membersihkan jiwanya.

Syaikh Jum’ah Amin berkomentar pada salah satu ceramahnya, “Mereka bisa menjadi para penunggang kuda di siang hari karena mereka telah terlebih dahulu menjadi rahib-rahib di malam harinya.”

Dakwah adalah aktifitas al-‘atha’ (memberi) dan tadhhiyah (pengorbanan). Seorang dai mengorbankan tenaga, pikiran, harta, dan waktunya untuk Islam dan umat Islam. Memberi yang bersumber dari ketulusan niat dan kesucian aqidah akan menampakkan buahnya sepanjang masa. Yang tak kenal musim dan tak berubah oleh perubahan cuaca. Tidak akan membuatnya melambung oleh tingginya sanjungan dan tidak akan tenggelam oleh hinaan. Karena bukan untuk sanjungan ia memberi, bukan untuk manusia ia berkarya, dan bukan untuk kedudukan ia berkorban. Semuanya adalah bagian dari pengabdiannya kepada Rabbnya.
وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ [الشعراء/109]
“Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu, upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam” (QS. Asy-Syuara: 109)

Memberi yang tidak bersumber dari ketulusan niat dan kebersihan aqidah tidaklah permanen. Ia hanyalah umpan di kail yang dilemparkan untuk mendapatkan ikan yang lebih besar dan kontan. Kekecewaan akan menyergap demi melihat umpannya tidak berbalas dan ikan tidak didapat. Ia akan patah arang manakala gayung tidak bersambut dan ajakannya tidak dihiraukan. Oleh sebab itu, sejak pertama kali menerima wahyu, Rasulullah SAW sudah diingatkan Allah, agar tidak berharap balasan dari apa yang diberikannya kepada umat.
وَلَا تَمْنُنْ تَسْتَكْثِرُ [المدثر/6]
“Dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih baik.” (QS. Al-Mudatstsir: 6)

Seorang mukmin melihat amal perbuatannya sangat kecil dan melihat dirinya berada dalam kemalasan untuk menunaikan hak-hak Allah. Memandang sepele amal perbuatan dan menganggap diri malas melakukan kebaikan akan memacu seseorang untuk mengoleksi kebaikan demi kebaikan serta berusaha meraih keutamaan. Sedangkan membanggakan amal membuat seseorang tinggi hati dan merendahkan orang lain.

Slogan ‘bersih peduli’ mempunyai akar pemahaman yang dalam, yang lahir dari pemahaman integral terhadap ajaran Islam. Slogan yang mestinya menjadi semboyan setiap partai Islam, dai, aktifis, bahkan individu muslim dalam kancah amal di dunia ini untuk mendapatkan kemenangan di dunia dan balasan akhirat.

Aqidah kita harus bersih dari noda-noda syirik agar amal kita diterima Allah. Kesyirikan hanya akan mengotori kesucian amal. Kesyirikan membuat pelakunya terjajah oleh tuhan-tuhan sekutu itu. Semua tuhan yang disembah dan diagungkan menuntutnya melakukan amal untuknya sebagai konsekuensi dari penghambaan kepadanya. Maka kemerdekaan dalam beramal hanya dimiliki orang-orang beriman dan tidak mencampuri aqidahnya dengan kesyirikan.
الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ [الأنعام/82]
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-An’am : 82)

Ibadah kita harus bersih dari unsur bid’ah dan penyimpangan-penyimpangan yang tidak dicontohkan Rasulullah SAW, serta harus dilandasi oleh ilmu dan kejelasan tentang semua yang kita kerjakan. Karena Rasulullah SAW telah mewariskan agama ini begitu jelas dan terang, seterang matahari di siang bolong. Tidak ada yang menyimpang darinya selain ia tersesat.

Akhlak kita harus bersih dan terpuji, sebagai buah dari kebersihan aqidah kita. Ia merupakan pesona seorang dai yang dengan itu membuat orang lain terpikat oleh diri dan dakwahnya.. seruan dan ajakannya diindahkan orang karena apa yang keluar dari mulutnya selaras dengan perilakunya.

Allah SWT berfirman:
أَلَمْ تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللَّهُ مَثَلًا كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرَةٍ طَيِّبَةٍ أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاءِ (24) تُؤْتِي أُكُلَهَا كُلَّ حِينٍ بِإِذْنِ رَبِّهَا وَيَضْرِبُ اللَّهُ الْأَمْثَالَ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ (25) [إبراهيم/24-25]
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” (QS. Ibrahim: 24-25)

Wallaahu a’lam.

dari blog --> muchlisin.blogspot.com [sumber: Seri Taujihat Pekanan jilid 2]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar