Ikhwah wal akhwat rahimakumullah…
Berbeda dengan orang beriman, ia memahami kewajiban yang telah Allah tetapkan dengan pemahaman yang indah dan menyenangkan, ia memahami kewajiban itu sebagai:
Peluang terbesar untuk mendekatkan diri kepada-Nya
Peluang untuk meningkatkan kualitas diri
Tangga untuk memperoleh cinta Allah, yang dengan cinta itu manusia akan tetap terjaga dirinya, dan
Menjauhkan diri dari tarikan dunia dan memfokuskan diri pada sikap rabbani.
Kebanyakan orang memahami kewajiban sebagai beban berat yang harus dipikul dan dipertanggungjawabkan di hadapan pemberi kewajiban itu. sehingga yang terbayang adalah pemberat-pemberat yang ada di pundak. Dan semakin banyak kewajiban-kewajiban yang ada maka semakin terasa berat pula beban hidupnya. Sungguh kasihan hidup yang penuh beban, selalu merasa dalam penderitaan dan tekanan.
Berbeda dengan orang beriman, ia memahami kewajiban yang telah Allah tetapkan dengan pemahaman yang indah dan menyenangkan, ia memahami kewajiban itu sebagai:
Peluang terbesar untuk mendekatkan diri kepada-Nya
Peluang untuk meningkatkan kualitas diri
Tangga untuk memperoleh cinta Allah, yang dengan cinta itu manusia akan tetap terjaga dirinya, dan
Menjauhkan diri dari tarikan dunia dan memfokuskan diri pada sikap rabbani.
Dalam sebuah hadits disebutkan:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِى وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَىَّ عَبْدِى بِشَىْءٍ أَحَبَّ إِلَىَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِى يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ، وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ
Dari Abu Hurairah RA ia berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah Ta’ala berfirman, Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka aku telah menyatakan perang dengannya. Tidak ada taqarrub hamba kepada-Ku yang lebih Aku cintai dari pada taqarrub yang telah aku wajibkan kepadanya. Tidak putus-putusnya seorang hamba bertaqarrub kepada-Ku dengan nawafil (ibadah sunnah) hingga Aku mencintainya. Apabila Aku telah mencintainya, maka Aku adalah pendengarannya yang dia gunakan untuk mendengar, penglihatannya yang dia gunakan untuk melihat, tangannya yang dia gunakan untuk memukul, dan kakinya yang dia gunakan untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku niscaya akan Aku berikan, dan jika ia meminta perlindungan-Ku, niscaya akan Aku lindungi.” (HR. Bukhari)
Ikhwani wa akhwati hafizhakumullah…
Allah SWT telah mendistribusikan kewajiban bagi manusia ini sesuai dengan kapasitas dan kemampuan setiap orang. Allah SWT berfirman:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا [البقرة/286]
Dan Allah tidak membebankan kepada seseorang kecuali sesuai dengan apa yang dimampui. (QS. Al-Baqarah : 286)
Kewajiban guru berbeda dengan kewajiban murid, kewajiban imam berbeda dengan kewajiban makmum, kewajiban orang miskin berbeda kewajiban orang kaya, dan seterusnya, masing-masing telah mendapatkan porsi kewajiban yang sebanding dengan kebutuhan kebaikan yang hendak dicapai. Kewajiban dzatiyah (pada diri sendiri) menjadi kebutuhan orang untuk mendapatkan kualitas pribadi yang unggul, sehingga ia menjadi saleh bagi dirinya secara fisik, intelektual, dan spiritual. Kewajiban kepada Allah, berfungsi untuk tautsiqush-shilah (menguatkan hubungan) dengan Allah, sehingga setiap saat pertolongan Allah dapat diraih untuk mendapatkan sukses hidup dunia dan akhirat. Kewajiban kepada sesama manusia berfungsi untuk menata harmoni kehidupan dalam ikatan nilai dan kebaikan.
Di mana posisi kita dari semua kewajiban di atas?
Jika kita hanya dapat menunaikan kewajiban dzatiyah, maka kita baru dapat menyalehkan diri sendiri, secara fisik, intelektual, dan spiritual. Dan jika kita tidak mampu menyalehkan diri dalam aspek-aspek penting itu, bagaimana mungkin kita akan mampu menyalehkan orang lain.
Jika kewajiban kepada Allah tidak terpenuhi dengan baik, maka akankah ada kedekatan jarak dengan Allah? Jika tidak dekat dengan Allah, akankah pertolongan Allah turun kepada kita?
Jika kewajiban kepada sesama manusia dalam berbagai statusnya tidak dapat dilaksanakan dengan baik, akankah mereka bersimpati dan berbaik sikap kepada kita? Rasulullah SAW yang senantiasa bersikap baik dan menunaikan kewajiban kemanusiaan kepada siapa pun masih saja mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan.
Ikhwah wal akhawat yar’akumullah…
Dari ketiga model kewajiban di atas, sebagai kader dakwah yang memiliki komitmen melakukan perbaikan internal dan eksternal, kita sadar bahwa di hadapan kita terdapat segudang kewajiban yang harus kita tunaikan, baik kewajiban kepada kedua orang tua, kewajiban suami istri, kewajiban kepada anak, kewajiban kepada kerabat, kewajiban kepada saudara, dan kewajiban kepada manusia pada umumnya, serta kewajiban kepada jamaah dan dakwah.
Semakin besar pemahaman kita terhadap kewajiban yang kita emban maka semakin besar pula kesadaran akan kurangnya waktu yang disediakan, sehingga memacu kita untuk memanfaatkan waktu sebaik mungkin agar tidak terlewatkan begitu saja.
Rasulullah SAW bersabda:
اغتنم خمسا قبل خمس : شبابك قبل هرمك و صحتك قبل سقمك و غناك قبل فقرك و فراغك قبل شغلك و حياتك قبل موتك
Jagalah lima perkara sebelum datang lima perkara lainnya; masa mudamu sebelum datang masa tuamu, waktu sehatmu sebelum waktu sakitmu, waktu kayamu sebelum waktu miskinmu, waktu senggangmu sebelum datang waktu sibukku, dan waktu hidupmu sebelum datang kematianmu. (HR. Baihaqi dan Hakim)
Manusia banyak terlena dengan kesempatan yang dimiliki dan tidak mampu menjadikannya sebagai peluang untuk berbuat baik dan melaksanakan kewajiban secara maksimal. Padahal di hadapannya begitu banyak kewajiban yang sudah menunggu. Hal itu tidak boleh terjadi pada seorang kader. Karena tidak ada waktu istirahat baginya kecuali kematian. Itu pun pada –la samahallah- kemaksiatan dan keburukan. Sedangkan terhadap kebaikan, hidupnya didedikasikan untuk mencarinya dan menggapainya sebanyak-banyaknya. Sebagaimana dalam doa yang diajarkan Nabi SAW kepada kita:
وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لِى مِنْ كُلِّ شَرٍّ
Dan jadikanlah kematian sebagai istirahat (penghenti) bagi saya dari segala kejahatan (HR. Muslim)
Ikhwah wal akhawat as’adakumullah hayatakum…
Prinsip seorang kader adalah sebagaimana firman Allah:
فَإِذَا فَرَغْتَ فَانْصَبْ [الشرح/7]
Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain (QS. Al-Insyirah : 7)
Sebagian ahli tafsir menafsirkan apabila kamu (Muhammad) telah selesai berdakwah, maka beribadahlah kepada Allah; apabila kamu telah selesai mengerjakan urusan dunia, maka kerjakanlah urusan akhirat. Dan ada lagi yang mengatakan, pabila telah selesai mengerjakan shalat, berdoalah.
Dan keberuntungan seseorang dalam hidupnya setelah keimanan adalah kemampuan memanfaatkan masa hidupnya untuk beramal saleh dan berdakwah (saling berwasiat pada kesabaran dan kebaikan). Allah SWT berfirman:
إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menasihati supaya menetapi kesabaran. (QS. Al-Ashr : 2-3)
Karena itulah, waktu harus digunakan seoptimal mungkin untuk kepentingan dakwah dan penataan kehidupan yang lebih baik dan lebih mulia. Tidak akan berarti apa-apa kesalehan pribadi yang kita bangun tinggi jika tidak memberi dampak bagi kesalehan lingkungan.
Semakin banyak peran yang ingin kita mainkan, maka semakin banyak pula kewajiban yang harus kita tegakkan. Banyak peran dengan sedikit kewajiban tertunaikan adalah kebangkrutan, dan banyak kewajiban tanpa peran adalah kemandulan. Dan kita hanya ingin memiliki kader yang berperan aktif, produktif, dan dinamis. Dan untuk semua itu, kewajiban di semua tingkatan harus terpenuhi. Wallaahu a’lam.
dari blog --> muchlisin.blogspot.com [sumber: Buku Seri Taujih Pekanan jilid II]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar