Snouck Hourgronje mungkin orang paling berjasa bagi pemerintah Hindia Belanda. Jasanya terbesar adalah usulan kebijakan tentang bagaimana seharusnya pemerintah Hindia Belanda “menghadapi” umat Islam di Indonesia, yang kemudian terbukti efektif dan berhasil memperpanjang usia “penjajahan” di negeri ini.
Yang menarik diantara sekian banyak rekomendasi kebijakannya adalah peringatannya kepada pemerintah Hindia Belanda untuk tidak mengganggu tiga hal dalam kehidupan umat Islam. Pertama, jangan ganggu umat Islam melaksanakan semua jenis ibadahnya, bahkan fasilitasi mereka untuk itu. Kedua, jangan ganggu kaum perempuan. Ketiga, jangan ganggu para ulama. Kebijakan ini benar-benar tepat untuk sebuah komunitas muslim dengan pola keberagamaan yang simbolik dan harfiah sehingga selama simbol-simbol yang disakralkan agama tidak terganggu, mereka merasa agama ini masih baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dicemaskan.
Yang menarik diantara sekian banyak rekomendasi kebijakannya adalah peringatannya kepada pemerintah Hindia Belanda untuk tidak mengganggu tiga hal dalam kehidupan umat Islam. Pertama, jangan ganggu umat Islam melaksanakan semua jenis ibadahnya, bahkan fasilitasi mereka untuk itu. Kedua, jangan ganggu kaum perempuan. Ketiga, jangan ganggu para ulama. Kebijakan ini benar-benar tepat untuk sebuah komunitas muslim dengan pola keberagamaan yang simbolik dan harfiah sehingga selama simbol-simbol yang disakralkan agama tidak terganggu, mereka merasa agama ini masih baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dicemaskan.
Setelah berdirinya Israel tahun 1948, para pemikir strategi Israel memunculkan sebuah gagasan tentang “perang periodik”. Gagasan ini mengatakan bahwa karena secara finansial Israel sangat tergantung dari bantuan internasional, khususnya dari Amerika Serikat dan Inggris, maka bantuan-bantuan itu selalu perlu dirasionalisasi dari waktu ke waktu kepada publik dunia. Jadi, Israel perlu melakukan usaha-usaha yang sistematis untuk “mengekspor” persoalan-persoalannya kepada dunia, ancaman-ancaman terhadap eksistensi dan kelangsungan hidupnya. Sesuatu yang membuatnya tampak perlu dikasihani dan ditolong serta diselamatkan. Dengan cara itu mereka mendapatkan simpati dunia. Salah satu bentuknya adalah bantuan finansial.
Strategi yang paling tepat untuk itu adalah perang. Dan, dirancanglah sebuah perang periodik dengan negara-negara Arab, Mesir, Syria, dan Lebanon. Perang itu berlangsung itu antara setiap lima sampai sepuluh tahun. Perang 1948 disusul Perang 1956, lalu perang 1967, kemudian Perang 1973, selanjutnya Perang 1982. perang periodik itu perlu dilakukan untuk me-maintaincongressman di Washinton, saya mendapatkan informasi dari mereka bahwa 80% bantuan luar negeri Amerika memang diberikan kepada Israel dan “Mesir”. memori publik terhadap Israel yang perlu diselamatkan. Ketika saya berkunjung ke Amerika Serikat, Juli 2000 lalu, dan sempat bertemu dengan beberapa senator dan
Strategi perang periodik itu ternyata berhasil melaksanakan beberapa fungsi. Pertama, mempertahankan semangat perang prajurit Israel. Kedua, merealisasi prinsip ekspansionisme yang merupakan bagian inheren dalam falsafah Zionisme internasional. Ketiga, mendapatkan uang. Sekarang kita melihat betapa efektifnya strategi itu, baik dalam menciptakan soliditas internal dalam struktur masyarakat Israel yang baru berdiri maupun dalam menciptakan image Israel sebagai raja yang paling berkuasa di kawasan Timu Tengah. Istilah Timur Tengah ini sendiri merupakan bagian dari strategi Israel untuk mengisolasi Dunia Arab dari Dunia Islam, untuk kemudian mengisolasi Palestina dari Dunia Arab.
Itu hanya dua contoh tentang bagaimana pemikiran strategis telah membantu memperpanjang usia sebuah penjajahan dalam kasus pertama dan memeperkokoh posisi politik-militer penjajah baru dalam kasus kedua. Kehadiran kelompok pemikir strategi telah menjadi sebuah keniscayaan, bukan saja bagi negara, tapi juga bagi semua kelompok yang mempunyai misi besar. Para konsultan memainkan peran sebagai pemikir strategi dalam dunia bisnis, sementara lembaga-lembaga pengkajian strategi memeainkan peran yang sama untuk komunitas sosial, politik, dan militer.
Generasi Pemikir Strategi
Kalau dakwah ini merupakan sebuah proyek peradaban, sesungguhnya dakwahlah yang lebih membutuhkan kehadiran kelompok pemikir strategi. Saat ini di hampir seluruh negara Islam, dakwah sedang dalam proses “menegara”. Mark Juergensmeyer bahkan menyebut fenomena ini sebagai gejala kebangkitan global dari “nasionalisme religius”. Di kalangan para pengamat politik internasional, seperti Kinechi Ohmae, Naisbit, dan Huntington, ada anggapan kuat bahwa era konsep negara-bangsa (nation state) –dipelopori oleh Perancis dan Amerika pada abad ke-18 sebagai model negara pasca negara-dinasti yang bertumpu pada feodalisme- yang menjadikan nasionalisme sebagai ruhnya kini telah berakhir. Sebagai gantinya muncul konsep negara-etnis dan konsep negara-agama.
Saya tidak sedang ingin membahas masalah itu. Yang ingin saya katakan adalah dakwah kita saat ini sangat membutuhkan kehadiran kelompok pemikir strategi. Karena itu saya merasa bahwa generasi para “ideolog” telah melakukan tugas mereka dengan baik. Sayyid Quthub, Muhammad Quthub, Muhammad Al-Ghazali, dan Yusuf Al-Qardhawi di Mesir, Al-Maududi di Pakistan, dan Al-Nadawi di India. Mereka telah membangun sebuah basis pemikiran yang kokoh bagi kebangkitan Islam di seluruh dunia. Kini tiba saatnya peran mereka dilanjutkan oleh generasi baru, generasi pemikir strategi yang bertugas menyusun langkah-langkah strategis untuk mencapai cita-cita dakwah. Saya tidak mengatakan generasi itu belum ada. Tapi, saya ingin mengatakan bahwa pustaka dunia Islam masih dipenuhi oleh tulisan para ideolog tersebut, dibanding generasi baru yang kita harapkan.
Yang kita perlukan adalah kehadiran sejumlah pemikir strategi dengan kualifikasi yang baik dan terinstitusikan serta bekerja dengan metodologi yang handal. Para pemikir strategi adalah orang-orang yang berpikir dalam kerangka kesisteman, menggabungkan banyak disiplin ilmu, dan meramunya menjadi sebuah struktur pemikiran yang utuh, menjelaskan bagaimana tujuan, cara dan sarana terintegrasi menjadi satu kesatuan. Strategi bukanlah sebuah disiplin ilmu. Ia adalah seni tentang bagaimana memanfaatkan berbagai disiplin ilmu untuk mencapai tujuan tertentu. Itulah yang menjelaskan mengapa metode merupakan salah satu bagian inti dari strategi. Tapi, para pemikir strategi itu, beserta pemikiran-pemikiran mereka, perlu diinstitusikan. Karena, ini bukan pekerjaan yang bisa diselesaikan sendiri oleh seorang pemikir.
Dalam konteks kita saat ini, ada setidak-tidak dua bidang garap yang harus dilakukan oleh kleompok pemikir strategi. Pertama, strategi gerakan, yaitu merumuskan strategi untuk mengembangkan dakwah dari partai menuju negara, termasuk di dalamnya merumuskan strategi pengembangan institusi, kader kepemimpinan, basis massa, pola penetrasi sosial, tahapan ekspansi, tema dan agenda politik partai pada setiap tahapannya. Kedua, merumuskan berbagai kebijakan publik yang sebagiannya untuk dijadikan landasan bagi penyusunan berbagai perundang-undangan dan sebagiannya lagi untuk diusulkan sebagai kebijaksanaan pemerintah.
Para pemikir strategi harus mempunyai basis yang kuat pada dua lingkaran pengetahuan. Pertama, basis ilmu-ilmu keislaman. Kedua, basis ilmu-ilmu sosial humaniora. Selama ini ada kesan bahwa para aktivis dakwah justru menghindarti ilmu-ilmu sosial dengan alasan muatannya yang sangat sekuler. Saya tidak menafikan hal itu. Tapi, itu bukan alasan untuk tidak menggelutinya. Karena, basis ilmu-ilmu keislaman dan pengalaman tarbiyah bukan saja akan memberikan imunitas kultural dan pemikiran, tapi juga kemampuan memilah dan mencipta sesuatu yang baru. Sebagaimana cerita Al-Qur’an tentang susu: datangnya dari kotoran dan darah.
[Penulis : Anis Matta]
dari blog --> http://muchlisin.blogspot.com/2009/01/kelompok-pemikir-strategi.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar